Tips Peternakan: Cara Jitu Atasi Diare Mematikan Pada Sapi

Tips Peternakan: Cara Jitu Atasi Diare Mematikan Pada Sapi

Anda seorang pengusaha peternakan skala besar atau kecil? Anda harus tahu, saat ini, merebak penyakit diare menyerang sapi. Daya serangnya, mengerikan. Terutama kepada anak sapi. Kejadian diare pada anak sapi atau biasa disebut pedet ini di Indonesia sampai sekitar 22% untuk setiap kelahiran dengan tingkat kematian mencapai 91%.

Tapi, Anda tidak perlu cemas. Tips berikut ini, sangat mungkin, akan berguna bagi Anda.

Minggu-minggu pertama kelahiran seekor bayi sapi adalah masa yang sangat rentan dan sangat mudah terpapar penyakit.

Kejadian diare pada anak sapi atau biasa disebut pedet ini di Indonesia sampai sekitar 22 persen untuk setiap kelahiran dengan tingkat kematian mencapai 91%. Fakta ini tentu bisa membuat program pemerintah Upsus Siwab (upaya khusus sapi indukan wajib bunting) yang diluncurkan oleh Kementerian Pertanian sejak 2016 terancam dan berubah menjadi sia-sia.

Program Upsus Siwab Tahun 2017 terbilang sukses, di mana pemerintah telah melakukan inseminasi buatan (IB) pada 3.974.401 ekor sapi atau 99,36% dari target 4 juta sapi dengan tingkat kebuntingan mencapai 1.893.022 ekor.

Namun, ledakan kelahiran pedet yang sedang dinikmati para peternak di berbagai daerah tahun ini harus menghadapi tantangan lainnya, yakni kemungkinan kematian pedet secara massal karena lingkungan peternakan yang kondisinya kurang maksimal.

Diare pada bayi sapi ini disebabkan penyakit kolibasilosis akibat terpapar bakteri entero-toksigenik escerichia coli (ETEC) dan vero-toksigenik escerichia coli (VTEC) yang biasa terdapat pada kondisi lingkungan peternakan di Indonesia.

Bayi sapi yang terserang bakteri yang biasa ada di sumber air, di tanah maupun udara ini selain akan mengalami mencret-mencret dengan tinja cair berwarna kuning, juga membuat bayi sapi dehidrasi, lemas dan berujung pada kematian.

Vaksin Diare Terkait besarnya angka kematian pedet akibat diare ini, Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet) Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian sejak tahun 1990-an melakukan penelitian tentang pencegahannya dan sudah menghasilkan vaksinnya pada tahun 2000-an.

Proses registrasi vaksin, menurut Kepala Bidang Kerja sama dan Pendayagunaan Hasil Penelitian BB Litvet Dr Bambang Ngaji Utomo, sudah dilakukan sejak 2015 dan sudah dilakukan uji mutu di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan.

Dengan demikian sekarang ini, sertifikatnya sudah keluar dan tinggal menunggu keluarnya izin edar untuk diproduksi massal oleh PT Caprifarmindo Laboratories, sehingga diharapkan tiga bulan lagi vaksin ini sudah bisa diedarkan di masyarakat.

Vaksinasi, kata Kepala Seksi Kerjasama BB Litvet Dr Andriani, dilakukan pada sapi induk bunting pada usia kebuntingan tujuh bulan dan sekali lagi pada dua minggu sebelum melahirkan, dengan demikian susu kolostrum yang dihasilkan si induk mengandung antibodi bagi anaknya.

Vaksin ETEC+VTEC ini mampu memberikan kekebalan pada anak sapi hingga 90 persen dan sanggup menurunkan potensi kematian anak sapi hingga tinggal satu persen, ujarnya.

Vaksin ini juga mempunyai keunggulan menggunakan isolat lokal, sehingga sangat sesuai dalam mengantisipasi penyebab diare di peternakan di berbagai daerah di Indonesia. Ini, lanjut dia, akan memberikan kekebalan optimal pada anak sapi yang sedang tumbuh.

Ia menyayangkan para peternak yang selama ini mengatasi kejadian diare pada anak sapi dengan antibiotik, padahal kini seperti dilaporkan sejumlah riset, sejumlah antibiotik sudah resisten terhadap bakteri e-coli penyebab diare.

Menindaklanjuti hasil temuan vaksin ini BB Litvet telah melakukan uji coba vaksinasi ETEC+VTEC bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, yakni di Taman Ternak Sumberejo, Kendal terhadap 20 ekor induk sapi.

Berikutnya juga di Taman Ternak Maroon, Temanggung, sebanyak 9 ekor dan Taman Ternak Pagerkukuh, Wonosobo, sebanyak 6 ekor, sehingga total induk sapi bunting yang telah divaksin 35 ekor.

“Ini karena Jawa Tengah memberi prioritas tinggi bagi pengembangan budi daya sapi dan berupaya keras menyukseskan program pemerintah Ubsus Siwab,” kata Bambang.

Seperlima Mati Data secara nasional selama ini, kata Kepala Balai Budidaya dan Pembibitan Ternak Terpadu (BBPTT) Jawa Tengah Abdullah, menyebutkan satu dari lima kelahiran pedet, hampir pasti mati karena diare.

Sebelum dilakukan vaksinasi pada 2016, ia mengatakan, di Taman Ternak Pagerkukuh Wonosobo terjadi kematian empat ekor bayi sapi karena kembung dan diare, namun pada 2017 setelah vaksin, tidak ada kematian karena diare.

BBPTT Jateng yang merupakan lokasi pembibitan sapi di Jawa Tengah, sejauh ini memiliki total 452 ekor sapi yang tersebar di tiga lokasi, yakni Kendal, Wonosobo dan Temanggung, di mana 252 ekor di antaranya merupakan indukan sapi.

Sebanyak 140 ekor sapi ditargetkan akan mendapat vaksinasi ETEC+VTEC tahun ini untuk mencegah kematian bayi sapi.

Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah Agus Wariyanto menyatakan dengan kerja sama ini pihaknya berharap provinsinya menjadi contoh dalam penanganan kesehatan sapi bagi wilayah-wilayah lainnya di Indonesia.

Jawa Tengah, lanjut dia, memang menjadi sentra pengembangan sapi terbesar setelah Jawa Timur dengan jumlah populasi sapi potong pada 2017 mencapai 1,7 juta ekor di mana Kabupaten Blora yang terbanyak dalam populasi yakni 212 ribu ekor.

Dari target Jateng melakukan inseminasi buatan (IB) dalam program Upsus Siwab 2017 sebanyak 500 ribu ekor, telah tercapai 130 persen sehingga pada 2018 target dinaikkan menjadi 600 ribu ekor, dengan target kebuntingan sampai 70 persen.

Diharapkan kebuntingan induk sapi yang menjadi target utama dari Upsus Siwab ini akan berlanjut pada kelahiran bayi-bayi sapi yang sehat dan bisa meningkatkan populasi sapi nasional serta tercapainya swasembada sapi pada 2026.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *