Menerapkan pemeliharaan sapi perah dengan sistem kandang kering untuk mengefisienkan waktu, tenaga, dan biaya produksi

Menerapkan pemeliharaan sapi perah dengan sistem kandang kering untuk mengefisienkan waktu, tenaga, dan biaya produksi

Dalam suatu usaha, terobosan dan inovasi perlu dilakukan agar dapat bertahan. Apalagi dengan iklim usaha seperti saat ini, yang cukup kompetitif. Hal yang sama berlaku di usaha peternakan. Seperti yang dilakukan oleh Tosin peternak sapi perah di daerah Cigugur Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

Ia mengatakan beternak sapi perah merupakan salah satu mata pencaharian untuk meningkatkan kesejahteraan. Beternak sapi perah, berarti menghasilkan susu yang merupakan salah satu kebutuhan pangan yang bernillai gizi baik. “Kalau tidak ada peternak darimana masyarakat akan mendapat susu segar. Maka itu, menjadi peternak sapi perah merupakan mata pencaharian pokok saya,” cetusnya kepada TROBOS Livestock.
Tosin menilai beternak sapi perah masih menjanjikan. Namun, untuk skala ekonomis dalam beternak sapi perah harus di atas 10 ekor. “Kalau kurang dari 10 ekor pasti ada paceklik, karena ada saat sapi perah tidak menghasilkan susu segar sehingga penghasilan peternak menjadi berkurang,” terangnya.
Konsep Kering Kandang
Pemilik usaha peternakan bernama Jaya Ternak Abadi mempunyai sistem pemeliharaan sapi perah yang berbeda dengan umumnya. Ia melakukan pemeliharaan sapi perah dengan sistem kandang kering. Sistem ini ia terapkan untuk mengefisienkan waktu, tenaga, dan biaya produksi.
“Sistem ini mulai dijalankan sejak 2017. Semua sapi tidak dimandikan. Hasilnya menggembirakan. Padahal dulu tidak berani menggunakan sistem ini. Namun setelah dicoba ternyata banyak keuntungannya,” ungkapnya.
Ia coba memaparkan, beberapa keuntungan yang diperoleh dengan memelihara sapi perah sistem kandang kering diantaranya, pertama, mendapat penghasilan dari feses yang tercampur gabah/sekam padi sebagai alas lantai untuk dijadikan pupuk. Kedua, penyakit radang ambing atau dikenal sebagai mastitis yang merupakan salah satu masalah utama dalam peternakan sapi perah terminimalisir, hampir tidak ada sama sekali atau persentasinya sangat kecil. Ketiga, untuk kualitas susu nilai Total Plate Count (TPC) biasanya di bawah 1 juta, TS (Total Solid) sejumlah 12,16. Keempat, harga susu segar selalu di atas rata-rata, tertinggi pernah mencapai Rp 5.700 per liter dan terendah mencapai Rp 5.400 per liter.
Tosin memperinci, konsep kandang kering ini yaitu selain sapi tidak mandi, kandang pun harus pendek seukuran panjang sapi sehingga ketika sapi mengeluarkan feses jatuh ke lantai bagian bawah atau tidak terkena lantai untuk sapi merebahkan badannya. “Kandang pendek artinya ukurannya paling panjang kandang hanya sekitar 1,8 meter. Tempat pakannya pun harus pendek, karena kalau tempat pakan tinggi nanti ketika mau rebahan sapi mundur. Dengan tempat pakan pendek saat sapi rebahan tidak mundur dulu dan kepalanya langsung ke tempat pakan,” tuturnya.
Untuk membuat lantai supaya kering terus, diutarakan Tosin dengan memakai alas kulit padi (sekam) yang juga berfungsi untuk membantu memfermentasikan feces supaya lebih cepat menjadi pupuk. “Kalau murni kotoran untuk menjadi pupuk, prosesnya akan cukup lama sehingga dibantu dengan kulit padi,” jelasnya.
Selain itu, dengan sistem ini tenaga kerja menjadi sangat efisien karena tidak memerlukan tenaga kerja dalam jumlah banyak. Hanya perlu tenaga kerja untuk memindahkan feses dan pupuk ke karung. Dengan sistem kandang kering ini dapat menghemat biaya jasa tenaga kerja sekitar Rp 15 – 20 ribu per ekor per hari. “Apabila insentif tenaga kerja per bulan senilai Rp 3 juta per orang, tinggal dihitung saja jumlah tenaga kerjanya bisa dihemat dari nilai tersebut,” sebutnya.
Selain itu, biaya listrik lebih hemat dan biaya air tidak ada, sehingga biaya operasional pun banyak yang terpangkas serta kesehatan sapi pun tidak ada masalah. “Yang paling utama dari sistem ini adalah meminimalisir penyakit mastitis dan penyakit foot rot (penyakit kuku busuk),” ucap Tosin.
Manajemen Pemeliharaan
Tosin yang memiliki populasi sebanyak 24 ekor ini mengerjakan sendiri proses pemeliharaan peternakan sapi perahnya. Untuk memudahkan tugasnya, dalam proses pemerahan pun ia sudah mengadopsi teknologi dengan menggunakan alat perah portabel.
Dengan alat perah itu, Tosin tetap mengutamakan sterilitas mulai dari sapi, selama proses pemerahan susu, dan alatnya. Detailnya, pertama puting susu sapi perah dibersihkan dengan kain lap kering terlebih dahulu, tanpa menggunakan air. Kalaupun menggunakan air, kain lap dibasahi sedikit saja. Setelah puting susu sapi dibersihkan dengan kain lap, dibiarkan sejenak tidak langsung menggunakan alat perah. “Jika susunya sudah terangsang turun, baru dimasukkan alat perahnya, jangan sekali-kali, putingnya selesai dibersihkan langsung dimasukkan ke alat perah. Biasanya waktu susunya terangsang unutk turun tergantung genetik sapinya, ada yang paling cepat 5 detik susunya sudah terangsang, bahkan ada juga yang 1 menit,” tuturnya.
Sedangkan untuk waktu pemerahan berkisar antara 5 – 7 menit tergantung banyak atau tidaknya produksi susu saat itu. Kalau produksinya banyak pemerahan bisa di atas 7 menit. Biasanya, jika produksi susu hanya 10 liter sekali perah paling 5 menit sudah habis. Jika susu sudah tidak ada yang keluar lagi, biasanya alat perahnya lepas dengan sendirinya.
Jika alat perah tidak lepas dari puting maka pengecekan pemerahan susu bisa dilakukan dengan melihat mangkok yang transparan di alat perah apakah susunya masih mengalir atau tidak. Bisa juga dengan melihat ambing yang jika sudah terlihat mengecil maka pemerahan berhenti.
Untuk feces, diterangkan Tosin biasanya sehari 3 kali diangkut dari kandang. Dari populasi sapi perah yang ada di kandang, rata – rata menghasilkan 15 karung feses sapi per hari.
Namun untuk saat ini feces tidak difermentasi dulu karena peminatnya cukup banyak sehingga kotoran langsung dijual. Kalau dijual langsung Rp 8.000 per karung, tetapi jika sudah difermentasi harganya Rp 12.500 – 15.000 per karung. “Waktu fermentasi biasanya kurang lebih 1 bulan. Setelah difermentasi dimanfaatkan untuk pupuk sayuran dan bunga,” jabarnya.
Selama menjalankan usaha peternakan sapi perah ini, Tosin pun terkendala pasokan pakan hijauan yang sulit didapatkan terutama di musim kemarau. Ia pun mencari cara agar bisa menyetok pakan untuk sapi peliharaannya. Kini, ia mengandalkan tebon jagung atau hijauan berupa batang dan daun jagung yang diawetkan terlebih dahulu melalui pengolahan menggunakan metode silase untuk sapi peliharaannya. “Dengan cara ini saya bisa menyetok pakan yang bisa disimpan hingga 6 – 8  bulan,” ujarnya.
Tosin yang dalam menjalankan usaha peternakan sapi perah ini memutuskan untuk tidak bergabung dengan kelompok peternak ini menyatakan, dengan menerapkan metode silase ini dapat membantu menurunkan biaya konsentrat dan ampas tahu. Kalau ada silase ini biaya pakan tambahan bisa turun sekitar 5 %. “Dengan silase tebon jagung ini tidak perlu melakukan kombinasi dengan bahan pakan yang lain,” kilahnya.
Sementara untuk pemberian air minum dilakukan secara ad libitum, karena dengan memberikan pakan kering seperti silase wajib ada air untuk pengaduknya. Air pun akan secara otomatis mengalir ke bak minum dan akan berhenti jika sudah penuh terisi. “Air minum harus tersedia sepanjang waktu karena saya pernah amati untuk sapi perah laktasi yang berproduksi 20 liter membutuhkan air sekitar 60 liter selama satu hari satu malam,” ujar Tosin. ramdan, yopi, zulendra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *