Pemasaran sapi di saat pandemi cukup terganggu. Permintaan pasar menurun yang menyebabkan terjadi penumpukan sapi di kandang. Selain itu, beberapa jenis bahan baku pakan juga mengalami hambatan dalam pendistribusiannya.
Terjadinya kemerosotan ekonomi akibat gelombang yang ditimbulkan pandemi virus corona (Covid-19) berdampak luas bagi seluruh sektor, termasuk bisnis sapi potong. Seharusnya, permintaan akan daging sapi meningkat mengingat bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri 2020. Namun, karena pandemi yang terjadi, bisnis sapi potong terpaksa kehilangan permintaan.
Dijelaskan Harianto Budi Raharjo, jika sebenarnya pandemi Covid-19 tidak mengganggu ternak, dalam hal ini sapi. Namun, mengganggu trading atau pemasaran sapi di pasar. Awalnya, sebelum pandemi ini menyerang PT Lembu Jantan Perkasa mampu menjual sapi hingga 100 ekor per hari. Bahkan, pada saat menjelang Idul Fitri penjualannya bisa meningkat tajam mencapai 500 – 600 ekor per hari. Namun, saat ini hanya dapat menjual 30 – 40 ekor sapi dalam sehari. “Ini yang terkadang menyebabkan menumpuknya stok. Bukan karena kami menimbun, tapi karena memang produknya tidak laku di pasaran,” terang pria yang menjabat sebagai Direktur Operasional PT Lembu Jantan Perkasa ini, saat memberikan materi dalam acara seminar online yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP), IPB University pada (6/5). Saat ini, biaya pemeliharaan sapi sebesar Rp 45.000 per ekor per hari, dengan harga jual Rp 40.000 – 42.000 per kg.
Apalagi, saat ini banyak restoran, supermarket, dan pasar tradisional yang memilih untuk menutup sementara usaha mereka demi memutus rantai penularan virus ini dan mengikuti anjuran pemerintah untuk menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Padahal, tempat-tempat tersebut adalah peluang terbesar untuk pemasaran daging sapi.
Selama Covid-19 masih menghantui, ia mengaku bahwa terus mengedepankan keselamatan karyawan kandang. Penerapan protokol kesehatan wajib dilakukan guna menghindari ancaman penularan corona. “Karyawan di kandang wajib menggunakan masker. Saat masuk ke area kandang, semua disemprot dengan desinfektan. Dilarang bergerombol, dan harus langsung pulang jika jam kerja telah usai,” kata dia.
Gambaran Industri Feedlot
Lebih lanjut, Harianto menjelaskan jika pada industri penggemukan sapi potong tidak bisa lepas dari 4 hal yang harus dikuasai. Pertama adalah sapi bakalan, kemudian pakan ternak, manajemen feedlot dan penjualan sapi yang berhasil digemukkan. “Dalam program penggemukan sapi potong, waktu pemeilharaan yang dibutuhkan adalah 120 hari. Nah, selama masa tersebut, pakan sapi harus ditunjang dengan sangat baik. Sekali kita terjerembap dalam pakan ternak, maka pengembangan sapi potong yang kita jalankan bisa oleng,” tekan Harianto. Selain itu, selama 120 hari tersebut peternak harus berpacu dengan biaya pakan dan hasil yang didapat dari penggemukan. Inilah yang akan menjadi kunci dalam bisnis sapi potong dalam menghasilkan keuntungan.
Terkait sapi bakalan, ia ungkapkan jika para peternak atau pelaku penggemukan sapi bisa menggunakan bakalan impor maupun lokal. Hal penting yang harus diperhatikan adalah sapi bakalan tersebut masih dalam periode pertumbuhan, bukan sapi yang sudah terlalu tua atau terlalu gemuk. Bayangkan, jika sapi yang digunakan untuk penggemukan sudah berbobot 400 – 500 kg. Hasil yang didapat adalah daging sapi terlalu banyak mengandung lemak dan kualitasnya menurun. Namun, Harianto tak mampu menampik bahwa hal tersebut merupak suatu dilema bagi sektor industri penggemukan saat ini.
Sejatinya, industri feedlot merupakan pabrik penghasil daging, namun bukan daging yang siap pakai. Melainkan, daging dalam bentuk hidup. Namun, bakalan tidak selalu tersedia. Bahkan, sebelum Covid-19, masalah terkait ketersediaan bakalan ini sudah terjadi. “Ada masa dimana bakalan sapi mudah didapat, ada juga saat dimana bakalan sangat sulit didapatkan,” keluh Harianto.
Strategi Penyediaan Pakan
Pakan memainkan peranan penting sebesar 60 – 70 % dari total biaya produksi. Pada 2019, produksi pakan ternak di tanah air mencapai 20,5 juta ton dan diprediksi akan meningkat ke angka 21,5 juta ton pada 2020 ini. Plt Direktur Pakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Fini Murfiani menyatakan jika pakan yang selama ini digunakan adalah 65 % pakan lokal dan 35 % pakan impor. “Untuk pakan impor ini, kami terus mendorong untuk disubstitusi menjadi bahan pakan lokal,” terang Fini yang juga merangkap sebagai Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Ditjen PKH.