Sebagai manusia, kita tidak betul-betul sanggup terpisah dengan alam sekitar. Meskipun tembok-tembok di tengah kota memisahkannya dengan alam tetapi manusia tetap mencari cara untuk bertemu dengan ‘kawan lama’ dengan mendatangi kebun binatang atau mendatangkan binatang peliharaan.
Beberapa rumah tetangga di kampung saya dihiasi dengan burung-burung peliharaan dengan aneka jenis dan warna. Mulai dari tekukur hingga burung murai dengan harga yang bisa menguras isi dompet.
Kicauan terdengar mengalun hampir setiap pagi. Nampaknya, mereka kelaparan atau memang dilatih untuk menyemangati pemiliknya yang masih malas-malasan. Lengkingan kadang terdengar sehingga saya pun tertarik untuk menikmati keindahan nyanyiannya.
Beberapa diantara mereka yang hobi memelihara burung, memang tidak punya pekarangan luas dengan pepohonan besar di atasnya untuk mendatangkan burung-burung liar bertandang.
Entah kapan dimulainya tradisi menangkarkan burung liar untuk dijadikan hiasan rumah manusia. Tetangga saya pun nampaknya ‘ikut-ikutan’ meneruskan kebiasaan generasi sebelumnya untuk memanjakan burung melebihi anaknya sendiri. Baginya, memelihara burung _apalagi yang mahal_ menjadi kebanggaan dan jadi bahan obrolan.
Saya tidak punya hobi serupa dengan beberapa tetangga dekat rumah. Halaman rumah saya cukup luas untuk mengundang burung liar beraneka jenis. Mulai dari burung pipit, tekukur hingga kutilang yang sudah jarang.
Kerinduan saya akan ‘suara alam’ memang mudah terobati. Suara-suara burung liar yang biasa terkurung di sangkar justru sering terdengar.
Diantara mereka ada burung kutilang yang sudah jarang terdengar. Populasi burung ini sangat sedikit di kampung saya. Justru, mereka bisa dengan ditemukan di depan rumah, dalam sangkar.
Ketika saya berhasil mendapatkan foto dan videonya, saya merasa senang. Bagaimana tidak, untuk bisa mendengarkan keindahan suaranya manusia harus menebusnya dengan harga lumayan. Kemudian, memberinya makan buah-buahan karena itu kesukaannya. Dimana, manusia pun masih banyak yang tidak bisa makan buah-buahan karena kekurangan anggaran. Menyedihkan.
Setelah bisa mengumpulkan banyak foto dan video burung-burung itu, saya bisa paham kenapa orang begitu rela mengeluarkan banyak uang untuk mendengarkan suara si kutilang dan kawan-kawannya. Para aktifis pecinta hewan bisa saja mengemukakan alasan jika burung liar sudah seharusnya tidak dikurung di dalam sangkar. Tetapi, saya pun tahu jika banyak juga manusia ‘terkurung’ oleh rumah, pabrik dan perkantoran.
Karena sama-sama ‘terkurung’, manusia mengajak burung untuk saling ‘berbagi beban kehidupan’. Pemilik burung makan nasi, maka sebagian beras diberikan kepada peliharaannya. Si pemilik gajian di akhir bulan, si burung mendapatkan ‘kemewahan’ dengan makanan tambahan.